Tercatat sudah beberapa kali para pengemudi taksi di Jakarta melakukan demonstrasi ke Pemerintah. Baik Pemerintah daerah DKI Jakarta maupun Pemerintah Pusat. Alasannya, kehadiran aplikasi taksi, khususnya uber dan grab car telah mengakibatkan pendapatan mereka merosot. Taksi, yang dahulu moda transportasi tanpa pesaing dalam kelasnya, kini mempunyai pesaing yang tangguh. Buka saja soal kenyamanan tapi juga soal harga dan kemudahan. Entah sampai berapa lama taksi konvensional akan bertahan menghadapi gempuran persaingan ini.
Uber
Perlu untuk diketahui bahwa sistem yang ada selama ini adalah sistem target, setoran dan bagi hasil. Mirip dengan sistem angkot,tapi lebih advanced. Dengan sistem target dan setoran, pengemudi di berikan target besaran setoran tertentu. Jika tidak mencapai target bisa dibilang pengemudi malas menjalankan mobilnya. Apabila dalam kurun waktu tertentu pengemudi tidak mencapai target setoran maka boleh jadi tidak diikutsertakan lagi sebagai pengemudi. Target ini penting karena mobil yang digunakan sebagai taksi biasanya diperoleh dari sistem leasing, jadi perusahaan juga dikejar target untuk membayar cicilan mobil.
Target setoran maksudnya adalah seluruh pendapatan hasil mengemudi disetorkan pada perusahaan. Besaran jumlah setoran dapat diketahui dari mesin argo yang terpasang dimobil. Jadi perusahaan tahu persis berapa pendapatan yang diperoleh pengemudi. Sistem setoran ini juga dapat menyediakan informasi yakni berapa rupiah yang dihasilkan oleh pengemudi per kilometernya. Maksudnya dari satu hari keluar berapa rupiah yang dihasilkan. Sistem setoran ini sedikit berbeda dengan sistem setoran angkot.
Kalo diangkot, pengusaha atau perusahaan tidak mengetahui berapa uang yang diperoleh pengemudi dalam satu hati. Pengusaha atau perusahaan hanya memberikan target berapa uang yang harus dikumpulkan dalam satu hari. Biasnya menggunakan harga pasar. Artinya, sesama pengusaha angkot biasanya saling bertukar informasi berapa setoran ideal dari angkot yang ada. Biasanya untuk mobil baru dikenakan setoran yang lebih tinggi dari pada mobil lama. Istilahnya setorannya lebih mahal. Bagaimana jika setoran terlalu tinggi ditetapkan pengusaha? Hal ini mungkin saja terjadi, tapi biasanya sesama pengemudi angkot sudah ada kesepakatan tersendiri. Jadi biasanya sopir angkot akan menolak untuk mengemudikan mobil yang setorannya terlalu tinggi.
Bagaimana dengan mobil baru, bukankah setorannya juga lebih tinggi dari rata-rata mobil angkot lainnya? Untuk mobil baru biasanya sopir angkot menerima setoran yang tinggi. Alasannya, penumpang atau bahasa mereka "sewa" lebih menyukai mobil yang baru ketimbang mobil lama. Jadi penghasilan mobil baru lebih banyak ketimbang mobil lama.
Untuk sistem bagi hasil di taksi, memang ini tidak diberlakukan untuk semua perusahaan. Hanya perusahaan-perusahaan tertentu saja. Sistem bagi hasil biasanya dikaitkan dengan jumlah setoran. Jika misalya setoran per hari hanya mencapai Rp500,000,- maka bagi hasil yang diperoleh rendah misalnya saja 20%. Jika setoran yang diperoleh tinggi, misalnya Rp1.000.000,- maka bagi hasilnya tinggi misalnya 30%. Dengan sistem ini pengemudi dipacu untuk mendapatkan setoran sebanyak mungkin.
Sama seperti taksi aplikasi, di taksi konvensional sebenarnya juga ada beberapa yang udah menggunaan teknologi untuk memesan taksi tersebut. Namun teknologinya dapat dikatakan teknologi analog, yakni telepon dan radio cb. Untuk memesannya pun sistemnya masih analog. Calon penumpang menelepon perusahaan taksi untuk dibuatkan order. Kadang kala kendalanya adalah ketika sudah membuat order sopir taksi sering nyasar karena pengemudi hanya dibekali alamat dan penanda tapi tanpa peta yang spesifik.
Dengan sistem yang sudah mapan tersebut, perusahaan taksi seakan tidak memiliki pesaing yang cukup signifikan. Kereta, bus, bajaj dan ojek motor bukanlah pesaing head-to-head dengan taksi. Hal ini disebabkan karena segmen konsumen yang di sasar perusahaan taksi juga berbeda dengan alternatif transportasi lainnya.
Zona nyaman perusahaan dan pengemudi taksi akhirnya terusik. Perkembangan teknlogi yang sangat cepat lambat laun mengancam kehidupan mereka. Memang teknologi sudah diramalkan akan menggantikan fungsi kerja manusia. Hanya, tidak ada yang menyangka bahwa ancaman itu datang lebih cepat dan pada bidang yang tidak mudah digantikan oleh robot.
Yang paling merasakan dampak dari aplikasi taksi sebenarnya adalah pengemudi taksi. Dalam sistem perusahaan taksi, bagian bagi hasil pengemudi dengan perusahaan terbilang lebih kecil dibandingkan dengan pengemudi aplikasi. Selain itu, pengemudi taksi taksi tidak lebih baik ketimbang pengemudi taksi aplikasi karena mereka dikejar setoran, sedangkan pengemudi taksi aplikasi tidak. Dengan tidak adanya setoran maka pengemudi taksi aplikasi tidak memiliki beban untuk mencapai target. Penghasilan yang diperoleh bisa disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Kelebihan pengemudi taksi aplikasi adalah efisien waktu dan bahan bakar. Ketika menunggu penumpang, mereka tidak perlu berkeliling. Cukup mengidentifikasi tempat yang biasanya banyak orderan taksi. Beda dengan taksi konvensional, mereka harus berkeliling untuk mendapatkan penumpang. Atau yang paling mudah, mereka menunggu di tempat keramaian seperti pasar, mall atau perkantoran. Padahal order bisa saja datang dari tempat yang tidak mereka ketahui.
Akibat dari kesenjangan tersebut, pengemudi taksi konvensional kalah bersaing dengan taksi aplikasi. Pendapatan taksi pengemudi aplikasi, semisal uber lebih banyak ketimbang taksi konvensional. Dari strukturnya saja dapat kita lihat, misal salah satu penghitungannya: (hanya ilustrasi..data masih kurang akurat)
Pendapatan
Konvensional....(800.000) - 24 jam ( 2 shift..masing-masing 400.000)
Uber.................. (600.000) - 6 jam (lebih banyak istirahat)
Pengeluaran
Konvensional...(200.000) - bensin 1 hari
Uber..................(100.000) - Tidak perlu keliling, cukup menunggu panggilan dari aplikasi
Nett- Pendapatan
Konvensional...(600.000) - disetor
Uber.................(500.000) - Bayar pakai credit card jadi uang langsung ke perusahaan
Penghasilan sopir
Konvensional...(target 500.000) dibawah target maka dapat 20% jadi 20%x 400.000= 80.000,-
Uber............. tidak ada target (80 pengemudi/pemilik kendaraan:20 perusahaan) 80% x 600.000 = 480.000,- sumber: http://bisnisuber.com
Dari ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa penghasilan sopir uber jaauuuuuuhhhhhhh lebih banyak ketimbang sopir taksi konvensional. Tak heran jika kehadiran taksi aplikasi sangat tidak diinginkan oleh sopir taksi. Bukan sekedar cemburu karena perbedaan penghasilan yang diperoleh, tapi kehadiran mereka mempengaruhi kelangsungan hidup keluarga mereka.
Perusahaan taksi sebenarnya tidak perlu untuk khawatir secara berlebihan. Mereka sebarnya mempunyai resources yang memadai. memang dalam menghadapi perubahan itu margin yang diperoleh akan semakin kecil. Namun setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Misalnya, meniru konsep bisnis perusahaan pesaing. Mengapa perusahaan taksi semuanya bergabung dan membuat aplikasi sendiri? bukankah armada mereka lebih banyak? jika sistem target, setoran dan bagi hasil tidak lagi relevan dengan persaingan, kenapa tidak diubah? Ada solusi jika mau keluar dari zona nyaman.
Dari hal tersebut diatas sebenarnya banyak pelajaran bagi kita sebagai pengusaha maupun pekerja.
Bagi pengusaha:
1. Tantangan tekonologi tidak mudah untuk dikalahkan. Mereka sangat efisien dalam operasionalnya. Untuk melawannya, anda juga harus menggunakan teknologi juga.
2. Perubahan itu pasti. Cepat atau lambat bisnis akan ditantang oleh perubahan.
3. Segera berubah dan adaptasi. Usaha yang menang bukanlah usaha yang kuat tapi usaha yang bisa beradaptasi dengan perubahan.
Bagi pekerja:
1. Jangan jadikan zona nyaman sebagai tujuan, segera perbaiki diri
2. Jika tidak bisa dilawan, belajarlah dan bergabung.
3. Upgrade kemampuan, khususnya dalam bidang teknologi
Baca juga artikel yang lain Pengemudi-uber-yang-lebih-kaya