Jam dinding menunjukkan pukul 18.00 waktu Indonesia barat. Tanda malam menjelang. ya, kini waktunya menjemput istri di stasiun. Pekerjaan saya yang kali ini lebih fleksibel menyediakan waktu luang yang cukup banyak, sehingga rutinitas sehari-hari tidak sepadat orang kantoran. Sementara, istri yang bekerja kantoran harus pergi pagi hari dan pulang sore jelang malam. Jadi, sebagai wujud perhatian dan emansipasi, biasanya saya jemput istri di stasiun. Pekerjaan antar jemput ke stasiun sudah menjadi rutinitas saya. Dengan jadwal kereta listrik yang sudah terbilang on time membuat aktivitas antar jemput menjadi mudah di prediksi. Waktu kedatangan dan alokasi waktu dari rumah ke stasiun sudah terencana. Jadi, jarang saya menunggu terlalu lama di stasiun atau terlambat datang ke stasiun.
Sore itu istri terlihat letih. Maklum, rutinitas kantor yang padat, ditambah perjuangan untuk mendapatkan kereta sesuai jadwal menguras energi yang lumayan besar. Lantas selanjutnya bisa ditebak, pasti rasa lapar sudah membayang. Sesampainya saya menjemput di stasiun istri kemudian minta sesuatu, "yah, lapar..beli sate ayam yuk". Langsung saja kami capcus ke warung sate terdekat. Warung sate langganan yang rasanya enak luar biasa. Tak heran jika sepanjang perjalanan kami membayangkan betapa enaknya sate ayam yang disuguhkan dengan lontong nasi. Dimakan dengan kecap manis..wuuuhh..sungguh enak.
Tapi saya disini bukan untuk membicarakan makan sate. Tapi usaha sate itu sendiri. Tentu kita ketahui bahwa usaha sate ini identik dengan tradisi daerah tertentu bukan. Ya, jika membicarakan sate, yang terbayang pasti kalo bukan sate madura ya sate padang. Serupa tapi tak sama. Kedua jenis sate itu memang memiliki akar budaya dan bahan olahan yang berbeda. Nah, jika anda seorang calon usahawan yang ingin membuka usaha sate, atau pengusaha sate, tentu anda harus memperhatikan beberapa hal, khususnya dalam perspektif akuntansi.
Terdapat perbedaan antara bahan baku dengan produk yang dijual. Ya iyalah, bahan baku berupa daging, setelah dijual ya produknya berupa sate. Maksud saya bukan itu. Ketika membeli bahan baku tentu dalam bentuk daging kiloan yang bentuknya cukup besar bukan, kemudian setelah diolah, daging itu dipotong dan ditusuk memakai bambu atau lidi. Itu baru produk setengah jadi yang dinamakan sate mentah. Setelah itu, jika ada pembeli, sate mentah kemudian di panggang diatas bara api, yang dalam hitungan menit sudah jadi dan disuguhkan di atas piring atau dibungkus.
Yang menjadi perhatian saya adalah berapa banyak bahan mentah yang "terbuang" ketika mengolah bahan mentah menjadi sate mentah. Ketika ada bahan yang terbuang, bagaimana perhitungannya? mengingat di dalam akuntansi, semua hal yang mempengaruhi laporan keuangan harus di catat. Dan daging yang terbuang, walopun gajih atau disishkan untuk dikonsumsi sendiri juga harus di catat.
Kemudian, bagaimanakah pencatatan bahan mentah menjadi sate mentah dan sate matang. Ini juga harus menjadi perhatian pengusaha sate. Jangan sampai tidak ada catatan yang mencukupi mengenai kuantitas bahan mentah yang masih ada (belum diolah), sate mentah yang belum diolah, dan sate jadi yang belum terjual (jika ada). Tentu ini juga harus dicatat. Bagaimana jika tidak ada catatan? Jika tidak ada catatan, maka dapat disimpulkan bahwa pencatatan yang dilakukan masih tradisional. Biasanya pencatatan ini hanya menyangkut uang keluar atau uang masuk (berapa penjualan yang dilakukan). Untuk skala kecil (usaha gerobak pinggir jalan) mungkin masih memadai, tapi jika anda berniat untuk membuka usaha dengan skala yang cukup besar, dengan mempekerjakan karyawan, tentu hal itu tidak cukup.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah usaha atau jualan sate merupakan usaha dagang atau usaha produksi? Karena didalam usaha ini terdapat upaya untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi? hehehe.. jadi bingung ya? gak usah bingung..kalo ada pertanyaan kirim email aja ke nicopascakom@gmail.com.
Sementara sekian dulu dari saya, next dalam artikel berikutnya kita akan bahas lagi jenis usaha yang lain. see you