Bagaimana Krisis Keuangan Amerika Serikat Tahun 2008 Dapat Terjadi



Mungkin masih banyak orang yang bertanya-tanya bagaimana krisis keuangan tahun 2008 di Amerika Serikat dapat terjadi. Sampai dengan saat ini kata yang mungkin banyak diingat oleh  masyarakat adalah subrpime mortage. Meski tidak banyak yang tahu, apa itu subprime mortage namun masyarakat sering kali mengartikannya dengan kredit perumahan di Amerika Serikat. Dalam hal ini memang peran media massa sangat berperan dalam membentuk pemaknaan dari subprime mortage itu sendiri. Kadang kala, pemahaman yang diterima oleh masyarakat cenderung berbeda karena banyaknya informasi yang diterima, akibat dari banyaknya media yang ada, khususnya di Indonesia.

Menurut literatur yang penulis temukan, krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat awal mulanya dipicu oleh Predatory Lending. Dari kedua kata tersebut sebenarnya kita dapat memahami bahwa predatory lending terkesan buas. Buas karena terdapat kata predatory. Sementara lending dapat diartikan sebagai pinjaman. Predatory lending itu sendiri adalah pemberian kredit atau dalam bahasa sehari-hari kita adalah pinjaman kepada orang-orang yang sebetulnya kurang memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Kredit ini dikenal dengan subprime mortage. Dari kata subprime mortage, kita dapat menggaris bawahi kata “subprime” yang dapat diasosiasikan dengan dibawah prime. Prime sendiri jika dimaknai secara asal dapat dimaknai dengan kata “utama”. Jadi subprime adalah bukan yang utama.

Penyaluran subprime mortage tersebut memberikan keuntungan yang lebih besar dengan membebankan bunga yang lebih tinggi, sementara itu resiko kredit dialihkan melalui produk derivatif yang disebut dengan Collateralizedd Debt Obligations (CDO). Semakin tinggi tingkat resiko maka semakin tinggi bunga yang dibebankan. Hal ini bagi masyarakat awam terlihat sangat aneh karena 1. Kredit (subprime) disalurkan kepada orang yang tidak mampu bayar. 2. Makin tinggi resiko (resiko gagal bayar) maka bunga CDO semakin tinggi. Maka tidak aneh pula jika banyak lembaga kredit disana yang melakukan rekayasa untuk membuat kreditor yang tidak layak dapat tetap memperoleh kredit.

Selain CDO, ada lagi yang disebut dengan CDS yang merupakan singkatan dari Credit Default Swap. CDS adalah produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan untuk melindungi pemilik CDO dari resiko kegagalan kredit. CDS itu sendiri dapat juga diperjualbelikan kepada bukan pemilik CDO. Meski tidak memiliki CDO dan tidak mengalami kerugian atas kegagalan CDO, para pembeli CDS ini akan memperoleh ganti rugi jika terjadi kegagalan pembayaran CDO. Dengan kata lain, kerugian yang dihadapi orang lain merupakan keuntungan bagi mereka. Sebaliknya, jika tidak terjadi kegagalan CDO, maka mereka akan kehilangan uangnya. Hal ini seolah mereka melakukan perjudian terhadap resiko yang dihadapi orang lain. (sebagai penjudi tentunya orang akan mau untuk terus menang bukan?)

CDS sendiri tidak di “reasuransi” karena CDS bukan produk asuransi. Dan dana hasil penjualan CDS oleh lembaga keuangan di Amerika Serikat digunakan untuk membayar bonus yang besar kepada pegawainya yang berhasil menjual CDS. Dengan kata lain, sebenarnya lembaga keuangan yang mengeluarkan CDS tengah menghadapi resiko yang lebih tinggi, bahkan ribuan kali resiko asuransi. Hal ini tergantung dari jumlah pembeli CDS dan alokasi dana untuk membayar kerugian yang mungkin terjadi. Sayangnya tidak sedikit lembaga keuangan di sana yang mengandalkan penjualan CDS tahun berikutnya yang diharapkan semakin besar. Akhirnya bisa ditebak, hal itu menciptakan skema ponzi.

Dengan menggunakan logika sederhana, kita tentu dapat melihat bagaimana memaksimalkan keuntungan dari skema subprime mortage – CDO – CDS ini. Lembaga keuangan tentu dapat melihat potensi ini. Ya, lembaga keuangan disana kemudian menjual produk CDO yang memiliki resiko kegagalan yang tinggi dan membeli produk CDS untuk memperoleh keuntungan dari kegagalan produk CDO mereka. Disisi lain, terdapat peran lembaga pemeringkat dalam lingkaran skema subprime mortage – CDO – CDS ini. Pemberian rating yang tinggi dilakukan terhadap produk-produk derivatif tersebut. Pemberian rating yang tinggi tersebut karena mereka dibayar lebih mahal dan akan diberi kesempatan untuk melakukan pemeringkatan berikutnya. Dengan peringkat yang tinggi, investor tetap membeli produk derivatif tersebut (CDO dan CDS).

Seiring dengan waktu, ketika ekonomi Amerika Serikat mulai menurun, kredit-kredit beresiko tinggi mulai mengalami kemaceran. Pada tahun 2008 kredit macet dan penyitaan jaminan rumah meledak (subprime macet). Lembaga peminjaman tidak dapat menjual kreditnya kepada investment bank (CDO). Kemudian banyak lembaga peminjaman yang bangkrut karena banyaknya kredit macet (subprime macet) dan jaminan yang tidak dapat dilikuidasi. Dengan macetnya subprime, kemudian pasar CDO runtuh. Lembaga keuangan terjebak pada pinjaman yang sangat besar, CDO, dan jaminan rumah yang tidak dapat dijual. (rumah tidak dapat dijual karena ekonomi Amerika Serikat tengah lesu).

Selanjutnya dapat anda tebak sendiri. Pada tahun 2008 silam kita banyak mendengar mengenai investment bank yang mengumumkan kebangkrutannya. Bahkan Pemerintah Amerika Serikat harus melakukan bail out. Bear Strearns diakuisisi JP Morgan Chase dengan harga yang sangat murah. Akuisisi itu dibiayai dari dana jaminan darurat Federal Reserve (bank Sentral Amerika Serikat). Fannie Mae dan Freddie Mac, dua lembaga pemberi kredit kepemilikan rumah, diambil alih oleh Federal Reserve. Merril Lynch diselamatkan oleh Bank of America. Hanya Lehman Brothers yang tidak berhasil diselamatkan, karena sebelumnya Lehman Brothers rencananya diakuisisi oleh Barclay’s Bank dari Inggris tapi kemudian batal karena permintaan jaminan kepada Pemerintah Amerika Serikat tidak diberikan.

Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan krisis subprime atau keuangan di Amerika Serikat? Menurut penulis adalah persoalan etika. Ketika mengetahui ada yang tidak beres dengan skema subprime mortage – CDO – CDS, lembaga keuangan di Amerika tidak serta merta menghentikan skema ini. Malah terus berlanjut karena memberikan keuntungan yang sangat luar biasa. Bukan saja lembaga keuangan, lembaga pemeringkat juga seakan menutup mata terhadap resiko yang dihadapi oleh produk-produk derivatif tersebut. Bahkan belakangan di ketahui bahwa terdapat peran dari kekuatan lobby yang dilakukan oleh para pelaku industri keuangan. Sebelum krisis mereka mengalokasi dana sebesar lebih dari US$5 miliar untuk lobbying dan kampanye. Pasca krisis bahkan lebih besar lagi. Mereka mempekerjakan lobbyist untuk melawan upaya-upaya reformasi.